Adakah Obat untuk HIV/AIDS Saat Ini?
AIDS merupakan penyakit yang paling ditakuti pada saat ini. HIV, virus yang menyebabkan penyakit ini, merusak sistem pertahanan tubuh (sistem imun), sehingga orang-orang yang menderita penyakit ini kemampuan untuk mempertahankan dirinya dari serangan penyakit menjadi berkurang. Seseorang yang positif mengidap HIV, belum tentu mengidap AIDS. Banyak kasus di mana seseorang positif mengidap HIV, tetapi tidak menjadi sakit dalam jangka waktu yang lama. Namun, HIV yang ada pada tubuh seseorang akan terus merusak sistem imun. Akibatnya, virus, jamur dan bakteri yang biasanya tidak berbahaya menjadi sangat berbahaya karena rusaknya sistem imun tubuh.
Karena ganasnya penyakit ini, maka berbagai usaha dilakukan untuk mengembangkan obat-obatan yang dapat mengatasinya. Pengobatan yang berkembang saat ini, targetnya adalah enzim-enzim yang dihasilkan oleh HIV dan diperlukan oleh virus tersebut untuk berkembang. Enzim-enzim ini dihambat dengan menggunakan inhibitor yang nantinya akan menghambat kerja enzim-enzim tersebut dan pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan virus HIV.
HIV merupakan suatu virus yang material genetiknya adalah RNA (asam ribonukleat) yang dibungkus oleh suatu matriks yang sebagian besar terdiri atas protein. Untuk tumbuh, materi genetik ini perlu diubah menjadi DNA (asam deoksiribonukleat), diintegrasikan ke dalam DNA inang, dan selanjutnya mengalami proses yang akhirnya akan menghasilkan protein. Protein-protein yang dihasilkan kemudian akan membentuk virus-virus baru.
Gambar 1A Struktur Virus HIV
Gambar 1B Daur hidup HIV
Obat-obatan yang telah ditemukan pada saat ini menghambat pengubahan RNA menjadi DNA dan menghambat pembentukan protein-protein aktif. Enzim yang membantu pengubahan RNA menjadi DNA disebut reverse transcriptase, sedangkan yang membantu pembentukan protein-protein aktif disebut protease.
Untuk dapat membentuk protein yang aktif, informasi genetik yang tersimpan pada RNA virus harus diubah terlebih dahulu menjadi DNA. Reverse transcriptase membantu proses pengubahan RNA menjadi DNA. Jika proses pembentukan DNA dihambat, maka proses pembentukan protein juga menjadi terhambat. Oleh karena itu, pembentukan virus-virus yang baru menjadi berjalan dengan lambat. Jadi, penggunaan obat-obatan penghambat enzim reverse transcriptase tidak secara tuntas menghancurkan virus yang terdapat di dalam tubuh. Penggunaan obat-obatan jenis ini hanya menghambat proses pembentukan virus baru, dan proses penghambatan ini pun tidak dapat menghentikan proses pembentukan virus baru secara total.
Obat-obatan lain yang sekarang ini juga banyak berkembang adalah penggunaan penghambat enzim protease. Dari DNA yang berasal dari RNA virus, akan dibentuk protein-protein yang nantinya akan berperan dalam proses pembentukan partikel virus yang baru. Pada mulanya, protein-protein yang dibentuk berada dalam bentuk yang tidak aktif. Untuk mengaktifkannya, maka protein-protein yang dihasilkan harus dipotong pada tempat-tempat tertentu. Di sinilah peranan protease. Protease akan memotong protein pada tempat tertentu dari suatu protein yang terbentuk dari DNA, dan akhirnya akan menghasilkan protein yang nantinya akan dapat membentuk protein penyusun matriks virus (protein struktural) ataupun protein fungsional yang berperan sebagai enzim.
Gambar 2 (klik untuk memperbesar)
Gambar 2 menunjukkan skema produk translasional dari gen gag-pol dan daerah di mana produk dari gen tersebut dipecah oleh protease. p17 berfungsi sebagai protein kapsid, p24 protein matriks, dan p7 nukleokapsid. p2, p1 dan p6 merupakan protein kecil yang belum diketahui fungsinya. Tanda panah menunjukkan proses pemotongan yang dikatalisis oleh protease HIV (Flexner, 1998).
Menurut Flexner (1998), pada saat ini telah dikenal empat inhibitor protease yang digunakan pada terapi pasien yang terinfeksi oleh virus HIV, yaitu indinavir, nelfinavir, ritonavir dan saquinavir. Satu inhibitor lainnya masih dalam proses penelitian, yaitu amprenavir. Inhibitor protease yang telah umum digunakan, memiliki efek samping yang perlu dipertimbangkan. Semua inhibitor protease yang telah disetujui memiliki efek samping gastrointestinal. Hiperlipidemia, intoleransi glukosa dan distribusi lemak abnormal dapat juga terjadi.
Gambar 3 (klik untuk memperbesar)
Gambar 3 menujukkan lima struktur inhibitor protease HIV dengan aktivitas antiretroviral pada uji klinis. NHtBu = amido tersier butil dan Ph = fenil (Flexner, 1998).
Uji klinis menunjukkan bahwa terapi tunggal dengan menggunakan inhibitor protease saja dapat menurunkan jumlah RNA HIV secara signifikan dan meningkatkan jumlah sel CD4 (indikator bekerjanya sistem imun) selama minggu pertama perlakuan. Namun demikian, kemampuan senyawa-senyawa ini untuk menekan replikasi virus sering kali terbatas, sehingga menyebabkan terjadinya suatu seleksi yang menghasilkan HIV yang tahan terhadap obat. Karena itu, pengobatan dilakukan dengan menggunakan suatu terapi kombinasi bersama-sama dengan inhibitor reverse transcriptase. Inhibitor protease yang dikombinasikan dengan inhibitor reverse transkriptase menunjukkan respon antiviral yang lebih signifikan yang dapat bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama (Patrick & Potts, 1998).
Dari uraian di atas, kita dapat mengetahui bahwa sampai saat ini belum ada obat yang benar-benar dapat menyembuhkan penyakit HIV/AIDS. Obat-obatan yang telah ditemukan hanya menghambat proses pertumbuhan virus, sehingga jumlah virus dapat ditekan.
Oleh karena itu, tantangan bagi para peneliti di seluruh dunia (termasuk Indonesia) adalah untuk mencari obat yang dapat menghancurkan virus yang terdapat dalam tubuh, bukan hanya menghambat pertumbuhan virus. Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati, tentunya memiliki potensi yang sangat besar untuk ditemukannya obat yang berasal dari alam. Penelusuran senyawa yang berkhasiat tentunya memerlukan penelitian yang tidak sederhana. Dapatkah obat tersebut ditemukan di Indonesia? Wallahu a’lam.
Pustaka:
- Flexner, C. 1998. HIV-Protease Inhibitor. N. Engl. J.Med. 338:1281-1293
- Patrick, A.K. & Potts, K.E. 1998. Protease Inhibitors as Antiviral Agents. Clin. Microbiol. Rev. 11: 614-627.